Sejarah Kerajaan Kalingga


 Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga hingga ketika ini menjadi sebuah perdebatan yang tida Sejarah Kerajaan Kalingga

SEJARAH KERAJAAN KALINGGA
Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga hingga ketika ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi menyampaikan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang terang bukti-bukti sejarah menyampaikan bahwa di Jawa pernah bangun sebuah kerajaan berjulukan Ho-ling (berdasarkan sumber informasi Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini yaitu Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling yaitu kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.
Ratu Shima yang Tegas
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada semenjak kurun ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan aturan kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melakukan aturan dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang tiba dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar informasi tersebut Ratu sangat murka dan memerintahkan semoga putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher karenanya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut yaitu kakinya, oleh sebab itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang digunakan sebagai anutan hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapat ketentraman dan kemakmuran.
Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga mencakup 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di sentra kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.

Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 hingga 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan setelah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antar dua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada kurun ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menyampaikan bahwa orang-orang Nusantara sudah bisa mengarungi samudra dan maritim lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya menyerupai ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal berpengaruh bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin acara ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.

Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina berjulukan I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang berjulukan Hwi-ning tiba ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan derma seorang pendeta Ho-ling yang berjulukan Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan aksara Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti yaitu kebanggaan kepada mata air yang keluar dari gunung yang mengakibatkan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas goresan pena prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini terang merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:
Mata air yang airnya jernih dan cuek ini ada yang keluar dari kerikil atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir menyerupai sungai Gangga.

Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa kawasan yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk menciptakan benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah terpelajar menciptakan minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak memakai sendok atau sumpit, melainkan memakai tangan.
Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan aturan kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.

Sumber Bacaan
Moehadi. 1986. Modul Sejarah Indonesia. Karunia: Jakarta.
Marwati, dkk. 1993 . Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel