Sinopsis Novel Sengsara Membawa Nikmat



  lantaran merasa Mamaknya ialah seorang Kepala Desa yang dikuti Sinopsis Novel Sengsara Membawa Nikmat
SINOPSIS NOVEL SENGSARA MEMBAWA NIKMAT

Identitas Novel
Judul           : Sengsara Membawa Nikmat
Pengarang   : Tulis Sutan Sati
Penerbit      : Balai Pustaka
Cetakan      : 1929
Tebal Buku : 192 Halaman

Seorang cowok berjulukan Kacak, lantaran merasa Mamaknya ialah seorang Kepala Desa yang dikuti, selalu bertingkah arogan dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang senang atau yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya lantaran sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun memiliki perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pandai silat. Midun tidak sombong menyerupai Kacak.
Karena Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering ia mencari kesempatan untuk sanggup mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara biar Midun murka padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, lantaran ia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang ia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat daerah kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat santunan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin murka pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun menerima eksekusi dari Tuanku Laras.
Midun diganjar eksekusi oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa menerima gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani eksekusi itu ialah Kacak. Mendapat kiprah itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di indera pendengaran Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah menerima eksekusi dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas lantaran Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan tulus kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk sanggup berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah ia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melakukan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli masakan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak sanggup dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun pribadi ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka ia sanggup dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami aneka macam siksaan. Dia di siksa oleh Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para tahanan itu gres tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari ber¬hasil mengalahkan si hebat Para tahanan.
Karena yang paling dianggap hebat oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun semenjak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang perempuan anggun sedang duduk duduk termangu di bawah pohon kenari. Ketika gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu hingga jatuh hati sama Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu ialah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling kisah pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa ia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu ketika ia sanggup tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang renta Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak lezat selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sesungguhnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau mendapatkan uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka perjuangan dagang di Jakarta. Usaha Midun makin usang makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan perjuangan dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk ia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun murka besar pada Syehk . Halimah juga sangat murka pada Syehk.
Karena gagal lagi risikonya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, pribadi menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Oleh Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang renta Sinyo itu. Orang renta Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya pada Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun pribadi diberinya pekerjaan. Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.
Setelah menerima pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang renta Halimah.
Prestasi kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat menjadi Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia pribadi ditu¬gaskan menumpas para penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu dengan adiknya, yaitu Manjau. Manjau bercerita banyak perihal kampung halamannya. Midun begitu sedih rnendengar kabar keluarganya di kampung yang hidup menderita. Oleh lantaran itu ketika ia pulang ke Jakarta, Midun pribadi minta ditugaskan di Kampung halamannya. Permintaan Midun itu dipenuhi oleh pimpinannya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah lantaran ia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan ia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, usang kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.

Analisis Instrinsik Novel Sengsara Membawa Nikmat

Tema : Kesabaran seseorang dalam mendapatkan penderitaan
Tokoh dan Penokohan :
1. Midun ialah seorang cowok berbudi, sopan, taat pada agama, serta penyabar.
2. Tuanku Laras ialah seorang Kepala Kampung yang sangat kaya. Dia sangat ditakuti dan disegani dikampungnya.
3. Kacak ialah seorang cowok yang memiliki sifat dan tingkah laris kurang baik. Dia angkuh, kasar, serta suka berpoya-poya.
4. Haji Abbas ialah seorang penghulu dan guru ngaji serta guru silat.
5. Maun ialah seorang cowok berbudi, sopan, serta taat kepada fatwa agama. Dia sahabat kental Midun.
6. Halimah ialah seorang gadis yatim. Dia tinggal dengan ayah tirinya yang kaya raya. Dia termasuk perempuan berbudi dan taat pada agama.
7. Pak Karto ialah seorang sipir penjara daerah Midun sewaktu dipenjara di Jakarta. Dia memiliki hati yang baik.
8. Syekh Abdullah Al-Hadramut ialah saudagar kaya keturunan Arab. Hatinya kurang baik. Dia populer sebagai seorang rentenir.
9. Tuan Hoofdcommissaris ialah seorang kompeni dengan jabatan sebagai Kepala Komisaris. Dia memiliki hati yang baik.
10. Manjau ialah cowok baik-baik, adik kandung Midun.

Alur : Maju
Latar : Latar tempat
a. Padang (Minangkabau)
b. Bogor
c. Jakarta


Amanat : - Bersabarlah dalam menjalani kehidupan lantaran tak ada kehidupan yang tanpa ujian atau cobaan, dan percayalah bahwa dibalik cobaan dan ujian yang tiba niscaya ada nasihat yang tersembunyi.
- Pandai-pandailah mengemudikan hawa nafsu. Hawa nafsu tak ada batasnya dan hawa nafsu ini kerap kali menjerumuskan orang pada lembah kesengsaraan.

Sudut Pandang : Sudut pandang dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat yaitu sudut pandang serba tahu.
Dalam tipe ini tentunya pengarang akan bertindak serba tahu. Pengarang mengetahui serba watak, keadaan, sifat hidup, dan sebagainya darai semua yang ada. Dari tingkah laris yang amat pribadi hingga kepada hal-hal yang terang kelihatan dari setiap tokoh. Dari pikiran yang terselubung hingga kepada kegiatan kasatmata sanggup diamati. Pendek kata, pengarang benar-benar berperan sebagai seorang dalang yang membuat bahkan memilih segala yang ada. Pengarang tidak hanya tahu ciri-ciri lahir maupun isi hati semua tokoh dalam kisah yang dikarangnya, tetapi juga tahu perihal nasib yang akan dialami tokoh-tokoh itu.

Gaya Penulisan : Dalam penulisan Novel Sengsara Membawa Nikmat pengarang lebih banyak memakai bahasa melayu yang tidak lain yakni bahasa yang dipakai oleh masyarakat Minangkabau.

Kutipan-Kutipan Dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat

- Padamu kami harap jangan ada watak yang demikian. Hal itu semata-mata mencelakakan diri sendiri. Tidak ada yang selamat, binasa juga tamat kelaknya. Dari pada sahabat kenalan kita pun terjatuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang kami sukai dalam pergaulan bersama. Satupun ada faedahnya memegahkan diri, hendak menunjukkan bakir begini, tahu begitu. Asal tidak akan merusakkan kesopanan diri, dalam percakapan atau tingkah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yang mendatangkan keselamatan dan laba dirimu.
- Berani, lantaran benar. Takut lantaran salah. Akuilah kesalahan itu, jikalau sesungguhnya bersalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan mengatakan kebenaran. Anak muda biasanya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehnya ditahan. Dalam segala hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi kalau ditimpa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bilamana perlu janganlah undur barang setapak jua pun.
- Begitu pulanya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerapkali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak bakir mengemudikan hawa nafsu, alamat tubuh akan binasa. Jika diturutkan hawa nafsu, mau ia hingga ke langit yang ke delapan–jika ada langit yang ke delapan. Oleh lantaran itu biasakan diri memandang ke bawah, jangan selalu ke atas. Hendaklah pandai-pandai memegang kendali hawa nafsu, supaya selamat diri hidup di dunia ini. Pikir itu pelita hati. Karena itu pekerjaan yang hendak dilakukan, pikirkan dalam-dalam, timbang dahulu baik buruknya.
- Lihat-lihat mitra seiiring, kata orang. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauhi segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak sanggup tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pandai-pandai mencari sahabat kenalan. Jangan dengan sebarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Daripada dekat dengan seribu orang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.
- “Memang engkau musuhku, jahanam!” ujar Kacak dengan bengis.” Engkaulah yang menghasut orang benci kepadaku. Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!”
- Midun berkata, “Sabarlah Ibu, jangan menangis juga. Ini gres siksaan dunia yang hamba rasai, di alam abadi nanti entah lebih daripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Makara apa yang terjadi halnya dengan mengumpat Tuhan jua.
- Bukankah sudah saya katakan, bahwa saya siap akan menolong Uni bilamana perlu. Jangankan ke tanah Jawa, ke maritim api sekalipun saya turut.
- “Kenang-kenangan yang akan sampai, mimpi yang boleh terjadi, “ujar Midun tiba-tiba.” Susahnya yang sebagai Ponggok merindukan bulan. Badan loyang disangka emas.”
Kayu rukam jangan dikelam,
Kemuning renta dikerat-kerat.
Jika hitam, banyak yang hitam,
Yang kuning jua membawa larat.
- Rasakan hendak dijahitnya bibirnya, lantaran terdorong itu.
- Muka Halimah merah padam mendengar perkataan Midun yang amat dalam pengertiannya itu.
- Biar bagaimana pipit itu akan tinggal pipit jua. Mudah-mudahan yang di cita tiba yang dimaksud sampai.
- Rupanya saya bagi ayah, buah hati pengarang jantung, timbangan nyawa, semangat badan.
- Hidup ini sebagai roda, Udo! Sekali naik, sekali turun, tiap-tiap kesenangan mesti ada kesusahan.
- Memang demikianlah kehendak Tuhan dan kemauan alam. Tidak boleh kita menyesali, lantaran sudah nasib semenjak di rahim bunda kandung.
- Bukanlah perkataan yang lemah lembut itu anak kunci hati segala manusia.
- Midun kena sihir, sempurna benar kenanya. Perjalanan darahnya sekonyong-konyong berubah. Hatinya kembang kempis, darah Midun berdebar, tetapi ia tidak sanggup berkata-kata.
Pisang emas bawa belayar,
masak sebiji di atas peti.
Utang mas boleh dibayar,
utang kebijaksanaan dibawa mati.

Pulau Pandan jauh di tengah,
Di balik pulau Angsa Dua.
Hancur tubuh di kandung tanah,
Busi baik terkenang jua.
- Kiranya tidaklah demikian, bahkan bertambah pula dengan makan hati berulam jantung. Bermacam-macam penanggungan yang telah kita rasai, disebabkan untuk nasib kita yang celaka jua.
- Apa boleh buat. Halimah! Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak guna.
- Mulut bapak tirimu yang manis dan perbuatannya yang baik itu, rupanya berudang di balik batu.
- Mendengar perkataan itu janganlah hati senang, melainkan sebagai tercocok duri jantung saya.
- Saya berdiam diri saja menyerupai patung, mendengar kata-katanya itu.
- Mukanya merah, urat keningnya membengkak mendengar perkataan saya yang pedas itu.
- Kiranya saya pergi ke rumahnya itu masuk jerat semat-mata; dan tidaklah salah rasanya bila dikatakan, hal saya waktu itu ialah menyerupai lepas dari lisan harimau jatuh ke dalam lisan buaya.
- Rambutnya ikal sebagai awan berarak. Mukanya lingkaran bulan penuh. Matanya laksana bintang timur bersanding dua, dan hidungnya bagai dasun tunggal. Pipinya menyerupai pauh dilayang, bibirnya lamau seulas, mulutnya delima merekah.
- “Mudah-mudahan dapatlah sebagai yang Udo cita-citakan itu. Jika untung, ikan di maritim asam digunung, lamun akan bertemu takkan sanggup disangkal.
- Halimah akal-akalan melayangkan pemandangannya ke maritim lepas, melihat ombak tanjung cina yang segunung-gunung tingginya itu.
- Segala perasaannya pada Halimah, disimpannya dalam peti wasiat di sanubarinya.
- Mendengar perkataan Syekh Abdullah demikian itu, naiklah darah Midun.
- Ia mau terkurung selama hidupnya, asal jangan lantaran ia Halimah terserah kepada orang Arab mata keranjang itu




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel